“Nanti diprioritaskan tahun 2021 sekitar bulan 3 dan 4 untuk pembangunan (jembatan permanen),” jelas Arini.
Sebab, sebelumnya masyarakat meminta agar jembatan lebih tinggi, lebar dan panjang. Semula tingginya hanya 4 meter menjadi 7,5 meter. Lebar semula 3 meter menjadi 4,5 meter dan panjangnya menjadi 9 meter.
“Untuk sesek (bambu) itu dari warga desa sendiri. Warga Desa Bulak dan Pandak supaya nggak muter terlalu jauh. Kalau muter sekitar 2,5 kilometer,” ujar Arini.
Menurutnya, perbaikan jembatan ini memang jadi prioritas. Pasalnya, kondisi jembatan dulu sudah di bawah jalan. Pengajuan perbaikan tahun 2019 dan baru dibangun 2020. “Ini Jembatan Melikan, penghubung Pandak-Bulak,” lanjut Arini.
Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) Ponorogo Jamus Kunto mengatakan, awalnya ada usulan dari desa untuk memperbaiki jembatan. Usulan proyek tersebut ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda).
“Dari lurah ke Bapeda, nah saya diminta untuk menghitung, antara bentang 10 sampai 11 meter itu kebutuhan anggaran sekitar Rp 500 sampai Rp 600 juta, untuk lebar maksimal sekitar 3 meter,” terang Jamus.
Namun karena anggaran hanya tersedia Rp 200 juta, maka pihak desa menyetujui untuk dibangun pondasi terlebih dahulu. “Nanti tahun 2021 dilanjut lagi untuk struktur utamanya,” tukas Jamus.
Usai dibangun pondasi kanan kiri, masyarakat berinisiatif membuat jembatan darurat dari sesek bambu yang bisa dilalui dengan sepeda motor.
“Jadi kita tidak terkait dengan jembatan sesek bambu, kita ada permintaan bangun jembatan, dananya dari Bapeda Rp 200 juta. Ya sudah kita cukupkan di pondasi itu, 2021 kita tunggu alokasi anggaran baru kita lanjut,” kata Jamus.
Jamus menambahkan, model pembangunan jembatan bertahap ini ada 7 di Ponorogo. Selain di Kecamatan Balong ini, ada juga di Desa Bajang, Kecamatan Mlarak.
Jamus mencontohkan jembatan di Prayungan, Kecamatan Sawoo yang 3 tahun baru dibangun. Karena anggarannya besar dan dana tidak cukup akhirnya dicicil. Masyarakat setempat pun tidak masalah karena berawal dari usulan mereka.
“Contohnya jembatan Prayungan, Sawoo sejak tahun 2009 atau 2008 kemudian 2010 kita bangun lagi, 2012 kita bangun lagi,” imbuh Jamus.
Meski 3 kali penganggaran, tidak masalah. Hanya saja permasalahannya karena keterbatasan anggaran oleh Pemkab sehingga pengerjaan tidak langsung bisa selesai.
“Karena kalau kita memaksakan harus langsung jadi, nggak mungkin Rp 200 juta itu jadi, kaitan dengan spek kita ada ketentuan, menghitung RAB-nya ada ketentuan, pakai spek teknis kebinamargaan. Tidak ada istilahnya kita membangun sesek, nggak ada, sesek itu karena dinamika masyarakat yang ada di situ, menggunakan yang sudah ada di situ walaupun darurat supaya tidak memutar terlalu jauh,” pungkas Jamus.